Java Script

Monday, January 17, 2011

APKAS

Karya: Mahadaya Senja

”Rin, maafkan aku yang menyayangimu. Jangan marah pada Dinda, karena dia tidak salah. Aku bahagia, walau hanya sebentar. Tapi sungguh aku bahagia. Tuhan telah berikan kesempatan aku untuk mengenalmu, untuk dapat perhatian padamu, menjadi penjaga jiwamu.”
Aku tahu ada yang berubah. Tapi aku hanya dapat bungkam. Hanya saja, kalau aku terus diam, aku tak mau itu terjadi "ih ... jijik". Semakin hatiku bertanya mengapa dia berubah, aku semakin berpikiran yang tidak-tidak padanya. "Apa dia??? Ah.. sudahlah. Jangan dipikirkan."
Siang itu badanku terasa panas. Wah ... narnpaknya aku akan demam. Hingar bingar kelas, celotehan Danu si mulut ember, hanya seperti bunyi kentut olehku yang semakin dapati tubuh ini semakin lemah.
"Rin, kenapa?" tanya Dinda
"Mmm ...tidak, ada apa” Jawabku gelagapan karena kehadirannya secara tiba-tiba.
"Bohong...., muka kamu merah. Kamu sakit ya?" tanya Dinda semakin serius.
"Ya ampun, aku tidak sakit Dindaku, sayang. Sudahlah aku sehat." Ucapku sambil mencubit pipinya.
Keesokan harinya, panas badanku belum juga turun. Batuk bersarang di tenggorokan, sakit sekali, aku jadi tak konsen belajar.
"Au ... kenapa ini? Aduh .... perutku sakit.” Tiba - tiba saja aku sakit perut. Dan au... aku makin merasa kesakitan. O... Tuhan, lengkap sudah penderitaanku. Sakit kepala, panas, dan kini di tambah lagi sakit perut. Aku hanya dapat meringkih pelan, jangan sampai ada yang tahu kalau aku sakit. Tapi aduh....., sakitnya semakin menjadi-jadi.
"Ini, minyak kayu putih, semoga dapat membantu "ucap Dinda sambil meletakkan barang itu di atas meja.
Kuucapkan terima kasih padanya ketika ia berlalu dari hadapanku. "Semoga dapat membantu", ya mungkin saja. Saat istirahat, kulihat Dinda sedang menulis sesuatu sendiri, aku menghampirinya.
”Terimakasih, kamu sangat perhatian" ucapku.
”Sama-sama. Memangnya kamu sakit apa? Lagi haid? Tanyanya.
Aku menggeleng, dan itu menjadi jawaban singkat yang tak perlu di korek lagi alasannya.
"Dinda, kemarin waktu kamu nelpon menanyakan aku sudah pulang atau belum, bibi aku bilang"Teman kamu itu perhatian sekali sih."
"Lalu kamu bilang apa?" tanya Dinda.
"Ya aku bilang, mungkin kamu memang seperti itu. Perhatian sama semua orang."ucapku.
Dinda menatapku sambil tertawa. Lalu pergi untuk menghantarkan tugasnya.
*****
Hawa malam tak begitu menggigit, tapi dingin sangat menusuk tulang. Aku menggigil di kamar sendiri, hanya sendirian. Aku tak mau merepotkan paman dan bibi. Aku tahu diri, jauh dari orang tua harus membuat aku mandiri. Maka aku harus kuat untuk melawan sakit ini.
"Tok ... tok ... tok... "
Terdengar suara pintu depan di ketuk. Aku terpaksa bangun untuk membukakan pintu, kebetulan semua sedang pergi. Setelah pintu kubuka, tak ada siapa-siapa. Aku menebar pandangan ke sekeliling halaman, dan memang tidak ada orang. Pandanganku langsung tertuju pada kantong yang tergeletak di teras. Kuperiksa, dan ternyata sebungkus wedang jahe yang masih hangat. Kupungut barang itu dan kubawa masuk kedalam. Setelah kubuka, secarik kertas jatuh dari dalam kantong itu.



Minumlah, semoga jadi lebih baik.
APKAS
Aku masuk dengan penuh kecurigaan. Semua orang aku curigai. pengirimnya cowok/cewek? Kenapa dia tahu aku sakit? Siapa si Apkas ini? Aah....dari pada aku memusingkan siapa pemberinya, lebih baik kuminum wedang jahenya sebelum dingin.
*****
Seminggu sudah aku tak berdaya. Sakitku tak kunjung pergi, membuat aku lemas di kelas. Tak ada yang tahu sakitnya aku, kecuali sapu tangan yang selalu kubawa kesana kemari, dia begitu berarti saat ini.
Namun lagi-lagi persaan ini menghantui. Aku merasa ada mata yang selalu mengarah padaku, terutama ketika aku batuk atau merebahkan kepala di atas meja. Hust... ! Aku tak boleh Su'udzon, siapa tahu dia sedang melihat yang lain.
Tapi tunggu, ada yang aneh. Ok, tatapan boleh buat orang lain. Tapi, perhatiannya? Kenapa berlebihan? Setiap kali aku sakit, dia selalu mencoba untuk memberi perhatian. Ya, mungkin dia menganggap kau sahabat. Tapi, kenapa perhatiannya lain, seperti perhatian seorang kekasih, apa jangan-jangan dia....???!!! Aku tak oleh berburuk sangka pada orang baik.
Siang itu aku tak percaya. Sebuah bungkusan berisi makanan dan minuman ada di dalam tasku. Siapa pengirimnya? APKAS, lagi-lagi dia. Kecurigaanku tertuju pada teman sekelas kupandangi satu persatu, siapa tahu aku bisa melacak siapa orang di balik ini semua. Dinda, alibiku mengatakan dia yang melakukan ini semua. Jangan-jangan Apkas itu Dinda? Habisnya hanya dia yang saat ini yang begitu perhatian dengan keadaanku. Ingin kutanyakan ini padanya, tapi aku takut, takut dia marah dan tersinggung. Akhirnya aku hanya dapat diam, terima saja semua.
Makanan, obat terus mengalir padaku. Minyak kayu putih milik Dinda selalu kuoleskan ke sapu tangan untuk membantu melapangkan hidungku yang mampet. Lalu makanannya? Tak kuketahui siapa yang memberi.
Ketika pulang les, tubuhku semakin sakit. Kepala terasa berat. Aku ingin cepat pulang. Catatanku berantakan, akhirnya aku bermaksud meminjam catatan Dinda.
"Din, pinjam catatanmu dong?"
Dinda malah cengengesan,"He..he ... he..., catatanku tak begitu lengkap. Nanti malam saja, catatannya akan kuantarkan ke rumahmu."
"Tak perlu, nanti saja. Lagi pula besokkan tidak ada pelajarannya.
"Tak masalah, aku antarkan ya kerumahmu, kalau tidak nanti sore ya malamnya."
"Din, tak usah. Aku tak begitu memerlukannya. Besok saja ketika di sekolah jangan memaksakan diri!" Ucapku
"Aku tak memaksakan diri, tenang saja, pasti antarkan bukunya. ok bos?" jawabnya memberi kepastian.
"Din, kenapa kamu begitu perhatian padaku. Kamu itu bukan siapa-siapa aku. Sudah kukatakan, tidak perlu nanti sore atau nanti malam!!! Kenapa harus memaksakan diri." Bentakku pada Dinda.
"Baiklah kalau kamu minta itu. Ya.. kau memang bukan siapa-siapa." Ucap Dinda sambil keluar dari kelas.
Sampai saat ini aku masih merasa bersalah padanya. Bodoh, kenapa aku harus mmbentak Dinda. Bicara baik-baikkan bisa? Aku memang tidak tahu diri, sudah banyak di tolong, seharusnya balas jasa, ini malah menyakitkan.
Minta maaf kerumahnya, mustahil! Sudah jam 11 malam, mengganggu orang saja. Tak lama kemudian telpon menjerit minta di angkat.
"Halo... "ucapku
"Nurin, ini Nurinkan?" tanya suara itu
"Ya, ini siapa?"
"Dinda."
"Rin, Dinda Cuma mau minta maaf atas kejadian tadi ketika les. aku merasa bersalah. Mungkin perhatian aku selama ini terlalu berlebihan. Maaf ya..."
"Aku yang seharusnya minta maaf. Aku terlalu egois. Aku tak bisa mengontrol emosi. Tak seharusnya aku membentakmu, aku tahu kamu hanyat ingin berbuat baik."
Setelah itu lama kami senyap, sama-sama diam. Tak ada yang mau angkat bicara. "Cinderella, maafkan aku" tiba-tiba suara dipenghujung telpon itu berubah menjadi suara laki-laki.
"Dinda ... kamu masih disitukan?" tanyaku
"Cinderella, izinkan aku bicara." Suara itu memotong. Suara itu bukan suara Dinda.
"Kamu bukan Dinda. Ini siapa? Mana Dinda? Kenapa kamu tahu tentang Cinderella?" tanyaku
"Aku takkan pernah melupakan panggilan buat orang yang aku sayang."
"Ini siapa?" tanyaku penasaran
”Masih ingat laki-laki yang sering bertengkar denganmu gara-gara kita sering beda pendapat saat diskusi di kelas?" tanya suara itu.
Deg. Siapa dia. Mana mungkin dia.....
"Rin, ini aku Fairuz."
Gagang telpon itu terlepas dari genggamanku setelah ku dengar nama itu. Jantungku berdegub kencang, desahan nafasku mewakili ketakutan dan ketidak percayaan.
"Din, aku tak suka main-main. Please, aku mau bicara dengan Dinda. mana mungkin kamu Fairuz, dia sudah mati."
"Izinkan aku jelaskan semua. Diam dan dengarkan, jangan matikan telponnya sebelum kamu dengar semua." Pinta suara itu
Baiklah aku akan diam, akan kudengarkan dia bicara. Tak lama kemudian terdengar tarikan nafas dalam, suara itu mulai bicara.
"Mungkin kamu tak percaya orang yang sudah mati bisa bicara dengan orang yang masih hidup. Tapi inilah aku. Sebelum aku meninggal aku memendam satu rahasia besar. Aku menaruh sayang pada seseorang, seseorang yang setiap hari jadi lawanku berdebat kusir ketika diskusi. Kasih sayangku padanya lebih dari teman-teman wanita yang lain. Entah karena alasan apa, aku berusaha menjadi orang yang selalu ada untuknya. Sayang aku tak punya keberanian untuk rasa itu, dan lebih sayangnya lagi , aku sudah lebih dulu di panggil oleh Tuhan.
Aku mati membawa penyesalan. Aku meminta pada Tuhan:
Tuhan, Andai Kau beri aku satu kesempatan akan kujaga dirinya dalam setiap nafasku. Tolong beri aku satu kesempatan lagi.
Akhirnya Tuhan kabulkan pintaku itu. Rin, kamu masih di situkan?"
"Ya ... aku masih di sini. Ta..tapi apa hubungan kamu dengan Dinda?" tanyaku menyelidiki. Sejauh ini aku masih tak percaya dengan yang terjadi.
"Aku pernah di rawat satu ruangan di Rumah sakit bersama Dinda. kami berkenalan, kita dekat, dan saling bercerita satu sama, lain. Dinda tahu tentang rasa hatiku padamu. Suatu keajaiban aku dapati kau berteman dengannya.
Kamu tahu, aku masih makin tak sanggup menyimpan semua ini ketika malam itu, setelah kalian pulang kerja kelompok, begitu tulisnya Dinda biarkan dirinya kedinginan, memberikan jaketnya untuk kau pakai. Aku merasa 3 bulan tak dapat tenang, sudah merupakan penderitaan yang berat, terkatung-katung di dua antara dunia. Aku lihat kamu juga sakit, sendirian di sini, akhirnya ku putuskan memakai tubuh Dinda, agar aku dapat melepas semua yang kutahan selama ini. Aku dapat menyayangimu seperti Dinda menyayangi temannya. Aku dapat selalu di sampingmu, walau aku hanya bisa memberikan sebatas yang aku mampu.
Rin, maafkan aku yang menyayangimu. Jangan marah pada Dinda, karena dia tidak salah. Aku bahagia, walau hanya sebentar. Tapi sungguh aku bahagia. Tuhan telah berikan kesempatan aku untuk mengenalmu, untuk dapat perhatian padamu, menjadi penjaga jiwamu.
APKAS itu Fairuz.
Aku Perhatian Karena Aku Sayang.
Tut... tut..tut...
Suara itu tinggalkan aku dengan kepedihan yang mendalam. Air mataku menderas, terisak-isak dan tak mampu kutahan. Jiwaku semakin meronta, aku temukan siapa itu Apkas, dan kenapa Dinda sangat perhatian padaku. Aku bahagia, tapi duka juga merundungku, aku kehilangan, belahan jiwa.
Keesokan harinya aku bergegas ke sekolah. Berharap temukan Dinda. tapi, aku salah. Hari ini tak ada Dinda, dan takkan pernah ada Dinda lagi yang perhatian padaku. Kabar yang sampai, mengatakan Dinda meninggal tadi malam, sakit jantungnya tak dapat di tolong.
Mataku semakin sembab. Aku di tinggal lagi oleh orang yang pernah sayang padaku. Kini, siapa lagi yang akan memberikan aku perhatian?
"Tadi malam Dinda sempat menelponku. Aku tak percaya kini dia telah pergi. Begitu cepat rasanya." Lagi-lagi aku hanya bisa menangis.
"Jam berapa dia menelponmu?" tanya Lauren, temanku.
" Sekitar jam 12 malam" jawabku
"Hah. Mana mungkin. Kamu mimpi ya.. Dinda itu meninggal jam 9. Makanya tidur itu baca doa, Ha.....ha ......”
Aku segera tersadar, keringat telah membasahi pakaianku. Aku mencoba menenangkan nafasku yang terengah-engah. ”Syukurlah." Ucapku sambil mengusap dada.
Februari 2009

No comments:

Post a Comment