Java Script

Saturday, January 22, 2011

ALLAH PUNYA RENCANA

Bu Ida sudah tak bergairah lagi untuk hidup ketika dokter memvonisnya menderita kanker serviks stadium akhir. Berdasarkan hasil riset yang di lakukan, usia bu Ida hanya tinggal 5 bulan lagi. Ia menjalani hidupnya tanpa semangat. Ia tak lagi ramah seperti yang pernah di kenal tetangganya, hanya mengurung diri di rumah dan lebih sering terlihat termenung. Ketika di minta anaknya untuk minum obat, bu Ida selalu menolak dengan alasan : , “Buat apa ibu minum obat? toh umur ibu tinggal beberapa bulan lagi”, jawabnya sendu.
Penyakit yang sama juga di derita bu Susi. Dokter malah memvonis jatah hidupnya tinggal 3 bulan. Namun berbeda sekali sikap bu Susi menghadapi masalah tersebut. Ia malah semakin bersemangat menjalani hidupnya. Setiap hari ia berolahraga, meminum obat dengan teratur, mempererat silaturahmi dengan tetangga dan orang-orang di sekitarnya. Selain itu, bu Susi pun meningkatkan ibadahnya, sholat lima waktu, puasa, tahajud, dan lain-lain “Saya yakin saya bisa sembuh, meski peluang itu kecil. Kalaupun semua cara sudah saya tempuh, toh akhirnya mati juga, ya… apa mau di kata. Toh semua pasti akan mati, hanya tinggal tunggu waktu saja. Tapi, saya ingin mati dalam keadaan yang baik dan bahagia dengan melihat orang-orang di sekitar saya juga bahagia”.subhanallah.
Secara harfiah, manusia memiliki banyak tipikal dalam menghadapi kehidupan. Di satu sisi ada manusia yang cepat down ketika di hadapkan pada masalah yang sangat rumit. Namun ada pula, di antara mereka yang mampu menjalani takdir dari Tuhan dengan legowo. Bu Ida, mempersepsikan dirinya sebagai orang yang tak lagi berguna, tak memiliki semangat hidup. Namun lain halnya dengan bu Susi, ia berusaha memotivasi dan mensugestikan dirinya untuk kuat, dan menjalani hidup dengan percaya diri, meski turbulensi dalam dirinya pastilah ada. Waktu yang tersisa bukanlah menjadi pelemah, namun menjadi pelecut diri untuk berbuat yang terbaik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Jika di analogikan dalam implementasi kehidupan yang lebih luas. Tak sedikit dari kita yang memiliki karakter seperti Bu ida. Di mana masalah yang di hadapi, membuatnya semakin lemah. “ah, Allah tidak adil. Kenapa harus aku yang menderita. Kenapa tidak orang lain?”. Ada pula yang mengatakan ”ini mungkin bisa saya kerjakan, tapi sulit”. Banyak sekali di antara kita yang mati semangat sebelum mencoba, menyerah sebelum bertanding, mengaku kalah sebelum berperang. Mereka orang-orang yang tak ubahnya seperti penganut Jabariah yang mengatakan “Ini sudah takdir Allah”, menjadikan kata-kata “takdir” sebagai tameng dari kelemahan mereka. Padahal Allah telah menegaskan dalam Qur’an surah Ar-Ra’du ayat 11 “…… Allah tidak akan mengubah apa-apa yang ada disatu kaum sampai kaum tersebut mengubah apa-apa yang ada di jiwa mereka.. ……”
Artinya apa?
Tidak semua yang terjadi saat ini adalah harga mati dalam kehidupan kita. Seperti bu Susi yang sudah menyelaraskan DUITnya ( Doa, Usaha, Ikhtiar, dan Tawakal) dengan ketetapan Allah. Bisa saja Allah memberikan kesembuhan meski manusia mengatakan tak ada harapan. Kun fa yakun.
Lalu bolehkah kita berputus asa?
Allah SWT berfirman (artinya), "Mereka menjawab, 'Kami menyampaikan berita gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.' Ibrahim berkata, 'Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-Nya, kecuali orang-orang yang sesat'." (Al-Hijr: 55-56).
Allah yang telah menjawab kegelisahan yang selama ini meruyak hati manusia yang ragu. Allah telah menegaskan bahwa orang – orang yang beriman adalah orang-orang yang terus maju, menerjang segala ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan.
Dan berdosakah orang yang berputus asa itu?
Jawabannya. YA.
Seperti yang diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Abbas r.a., bahwa ada seorang lelaki yang berkata: "Wahai Rasulullah, apa itu dosa besar?" Rasulullah saw. menjawab (artinya), 'Syirik kepada Allah, pesimis terhadap karunia Allah, dan berputus asa dari rahmat Allah'." (Hasan, HR Al-Bazzar [106/lihat Kasyful Atsaar], Thabrani dalam Al-Kabiir [8783, 8784 dan 8785], dan 'Abdurrazaq [19701]). (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 148-150.
Manusia dan harapan
Manusia telah di anugrahi Allah sifat berputus asa dan memiliki harapan. Hanya tinggal manusia itu sendiri yang mengolah keduanya. manusia di tuntut untuk memanage hidupnya.
Harapan berasal dari kata “harap” yang artinya keinginan sesuatu. Ketika seseorang tidak memiliki harapan, secara ruhaniah ia di katakan telah mati. Karena kodratinya, manusia pasti memiliki harapan dalam hidupnya. Seperti yang di paparkan oleh Abraham maslow, mengkategorikan kebutuhan manusia dalam lima macam. Yaitu :
1. Harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup (survival)
2. Harapan untuk memperoleh keamanan (safety)
3. Harapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk mencintai dan di cintai (loving and love)
4. Harapan memperoleh status untuk di terima atau di akui (to be accepted or recognized)
5. Harapan untuk memperoleh perwujudan dan cita-cita. (self actualization)
(IAD-ISD-IBD, Drs. Mawardi dan Ir. Nur Hidayat hal 181-182)

Kesimpulannya,,,,

Setiap keputus asaan, akan selalu di iringi oleh harapan. Manusia yang memiliki pandangan visioner akan menghadapi masalah dengan penuh kelapangan dan memacu optimismenya. Manusia yang melapangkan hatinya untuk menghadapi gejolak hidup akan menjalaninya dengan harapan yang baik (berhusnudzon kepada Allah), laksana seseorang yang meminum air sungai, tak akan merasakan asin dari segelas air garam yang di tuang di atasnya. Manusia yang menggantungkan harapan hanya kepada Allah, Tuhan pemelihara alam akan selalu mengiba untuk di berikan kekuatan dan kesabaran. Kelapangan hatinya akan terpancar dari kata-kata yang meluncur dari lisannya, tidak akan berkata “ini mungkin bisa saya hadapi, tapi sulit”, namun ia akan berkata “ini sulit, tapi harus saya hadapi”, bukan “Lelah”, tapi “Lillah”.
Semoga kita tergolong orang-orang yang menggatungkan harapan hanya kepada Allah. Yakinlah “ Setelah kesusahan, pasti ada kemudahan”.
*“Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal. Mengapa Kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri”. (QS Ibrahim ayat 11-12)*