Java Script

Monday, January 17, 2011

HARUSKAH JILBAB INI KULEPAS?

mahadaya senja

Bismillah…
Perlahan tapi pasti. Ia tetap melangkah meski hatinya bak genderang perang. Semua berkumpul di ruang tamu. Ratna segera menghampiri dan duduk di dekat kedua orang tuanya. Walaupun ia tak yakin dengan hal ini, mundur atau terus maju, hatinya bergejolak. Lama ia diam, hinga ayah yang mulai angkat bicara.
“Rat, kamu kenapa diam, tidak seperti biasanya?” tanya ayah
Ratna terkejut, dengan takut-takut ia mencoba mengeluarkan isi hatinya.
“Yah, Ratna ingin pakai jilbab”
Tapi ayah tak begitu menanggapi, wajahnya biasa-biasa saja, seperti tak ada sesuatu yang terlontar dari mulut anaknya. “Apa alasan kamu mau pakai jilbab?” tanya ayah menyelidiki
Jantung Ratna semakin dag…dig..dug. Tapi ia terus berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan. “Teman Ratna rata-rata sudah pakai jilbab, hanya beberapa orang yang belum, termasuk Ratna. Ratnakan malu, yah.”
“Hanya mau ikut-ikutan? Sebaiknya tidak usah.” Ucap ayah tegas
“Bukan, bukan itu alasan pastinya. Memang sudah sejak lama Ratna ingin pakai jilbab. Tapi, ibu selalu melarang Ratna. Makanya baru sekarang Ratna berani meminta izin.”
“Bagaimana bu?” tanya ayah sambil melirik pada istrinya
“Terserah ayah saja. Ibu hanya sangsi, takut niatnya hanya setengah-setengah. Hari ini menggebu-gebu, besoknya sudah kemana-kemana.” Lugas ibu
“Tapi kali ini Ratna janji bu, Ratna akan pakai jilbab sampai seterusnya.” Ucap Ratna meyakinkan. “Ayolah yah, Ratna benar-benar ingin pakai jilbab.” Tambah Ratna merengek
Ayah berpikir sejenak, lalu menyerup secangkir kopi hangat di hadapannya. “Menurut ayah, sebaiknya kamu itu nikmati dulu masa mudamu. Pakai jilbab itu nanti-nanti saja, kalau sudah kuliah baru ayah izinkan.” Tukas ayah
***
Kata-kata itu menyurutkan semangat Ratna. Telah lelah ia berargumen ini dan itu, hasilnya tetap saja nihil. Namun bagi Ratna itu semua hal kecil yang tak perlu di cemaskan. Ia yakin, saat itu pasti akan datang, pasti.
Kemarin ia boleh kalah, tapi ia yakin tidak untuk kali ini. Setelah tamat SMP, ia meminta untuk di kirim masuk pesantren. Tentu saja permintaannya membuat seisi rumah geger, berkerut kening. Pasalnya sang ibu terlalu sayang padanya, hingga takut terjadi sesuatu pada gadis cantiknya jika tak di dekatnya. “Baiklah, Ratna tidak akan bersedih jika tidak masuk pesantren, tapi Ratna ingin bersekolah di Aliyah!” Ucapnya ngotot. Ya, apa mau di kata, kedua orang tuanyapun mengikuti kemauannya. Akhirnya, mimpi pakai jilbab, telah tercapai, sekarang tinggal menjaga keistiqomahan untuk terus memakainya.
“Nah gitu dong. Ayah dan ibu kan sayang pada Ratna. Apa ayah dan ibu mau kalau anaknya ini badung, tak karuan, kurang ajar, dan suka keluar malam, tidakkan? Bersyukurlah karena di karuniai anak yang sadar akan masa depannya. He…he…he…” tukas Ratna menggoda
Tak dapat terkiaskan betapa senangnya hati Ratna. Setiap hari auratnya selalu terjaga, jilbab menjuntai hingga ke dadanya. Subhanallah, menyejukkan mata yang memandang. Ratna tak segera puas dengan prestasinya ini, ia terus berusaha mengembangkan diri. Menimba ilmu dengan sungguh-sungguh, dan memperbaiki akhlak adalah hal yang selalu di upayakannya.
Suatu sore, teman-teman SMP Ratna; Mira, Sinta,Zia, Vira dan Sukma bertandang kerumahnya. Semua terperangah tak percaya melihat Ratna memakai jilbab, karena mereka tahu siapa dulunya Ratna.
“Ini Ratna Sintia kan? Apa aku mimpi, seorang Ratna yang dulunya putri solek kini memakai jilbab?” tanya Zia sambil mengucek-ngucek matanya.
“Ini Ratna. Memangnya ada yang salah ya?” tanya Ratna
Semua tertawa, tentu saja Ratna yang jadi bahan tawaannya.
“Hei..semua. Aku yakin, seminggu lagi Ratna pasti sudah gerah dengan jilbabnya ini. Kalian tahu kan, Ratna ini tipe orang yang mudah bosan” cela Sukma
Semua kembali tertawa.”Kalian datang kemari karena rindu padaku, atau hanya ingin mencela penampilanku sih?” tanya Ratna dalam hati. Ratna hanya menyunggingkan senyuman. Baginya tak ada yang salah, mungkin mereka yang belum mengerti. Alah, hanya gigitan semut. Lama-lama juga hilang sakitnya,seperti itulah ia menanggapi ejekan-ejekan itu.
“Guys, malam ini kita party, yuk” ajak Mira
“Iya, kita sudah lama tak bersenang-senang nih.” Timpal Sinta
“Setuju.....” jawab yang lain serempak
“Kamu, Rat? Tanya Vira
Ratna kembali mengembangkan senyum,”Maaf, Ratna tidak bisa ikut.”
“Alah, munafik. Dulu, kamu yang suka mengajak kita, sekarang malah kamu yang menolak, jangan sok sucilah, sampai kapan sih kamu tahan dengan jilbab jelekmu itu?” tukas Mira
Astaghfirullah. Ratna hanya dapat mengelus dadanya. Tak sepatahpun dapat keluar dari mulutnya sebagai bentuk pembelaan.
“Ok, kita tanya sekali lagi. Kamu mau ikut tidak?” tanya Vira kedua kalinya.
Lama Ratna menunduk, hatinya galau. Jika ia tetap kekeh pada jawaban tidaknya, teman-temannya pasti marah dan meninggalkannya, bahkan lebih parah, mereka tak mau kenal Ratna lagi. Semua merayu, mendesak, bahkan mengancam. Ratna makin Ragu.
“Rat, kita masih muda. Kalaupun sekarang kamu lepas jilbab dan ikut kita party, tidak akan ada yang marah. Jalan kita masih panjang buat insaf. Bukankah Allah itu maha pengampun, kalau sudah puas, sudah tua, barulah kita bertaubat, mudahkan? Jelas Sukma.
“Betul Rat, selagi masih muda, happy-happy saja dulu. Apa pakaianmu ini tidak membuat risih, ayolah jangan munafik. Yuk ikut kami?” bujuk Mira
Keadaan makin membuat Ratna tersudut,”Haruskah aku buktikan, aku tidak munafik. Tapi kenapa mereka mengatakan aku munafik, munafikkah jilbabku, munafikkah seseorang yang ingin berubah ke arah yang lebih baik, di mana, apanya yang munafik?”. Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya. Sungguh, ini sudah kelewatan, tapi Ratna mencoba untuk sabar. Jika ia turut dalam situasi panas ini, apa bedanya ia dengan ke lima temannya.
Saat situasi tenang, Ratna mencoba memberi penjelasan.”Teman-teman, Ratna punya sebuah gambaran.” Ia menghela napas, lalu bicara lagi. “Ada kue yang di jual di pinggir jalan. Tidak di tutup, semua orang boleh memegangnya, meraba, bahkan menjamah. Dan ada juga kue yang di simpan di etalase, tak sembarang orang boleh menyentuhnnya. Meski sederhana, namun ia terlihat cantik,bernilai dan terjaga dari tangan-tangan kotor.” Jelas Ratna.”Mana yang lebih mahal?” tanya Ratna sambil terseyum penuh arti. “Kalian menilai Ratna munafik, silahkan. Tapi Ratna yakin, apa yang Ratna perjuangkan sekarang adalah sesuatu yang benar.”
Semua masih tetap diam, jauh dari keadaan sebelumnya, Ratna di bombardir hingga tak sanggup melawan. Sekarang, mereka seperti terkena sihir, semua mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut Ratna. “Oya, satu lagi yang perlu kalian ketahui. Allah memang maha pengampun dan penerima taubat, tapi itu bukan jadi alasan kita mudah berbuat maksiat dan dosa. Jangan bangga dengan umur kita sekarang, tidak ada jaminan kita dapat hidup sampai tua.” Ratna berkoar-koar setelah lama menahan gejolak.
“Sudah bu ceramahnya? akhirnya selesai juga siraman rohani ustadzah Ratna kita. Yuk kita cabut, Percuma saja lama-lama di sini” Ajak Zia ketus
Semuanya beranjak pergi dengan raut wajah yang tak mengenakkan. “Maafkan aku. Bagi Ratna ini yang terbaik.”ucap Ratna
***
Malam harinya, ibu mengadukan kecemasannya pada ayah. “Yah, ibu takut pada keadaan Ratna sekarang?”
“Memangnya kenapa bu?”
“Ituloh pak, semenjak beberapa minggu ini, sikapnya berubah. Dia lebih banyak di luar, katanya ikut kegiatan mentoring, dan kalau di rumahpun ia tak banyak bicara, setelah membantu ibu kerjaannya hanya di kamar,mulutnya sering komat-kamit, saat di tanya,”Sedang Dzikir bu”. Ibu takut yah, Ratna ikut aliran sesat. Sebaiknya ayah larang dia ikut mentoring lagi.” Pinta ibu
Setelah mendengar penjelasan itu, ayah segera memanggil Ratna.
“Ada apa yah?” tanya Ratna
“Kata ibu kamu ikut mentoring di sekolah. Ayah mau tahu, apa saja yang kamu lakukan selama mengikuti kegiatan tersebut?” tanya ayah
“Iya, Ratna ikut kegiatan mentoring agar hidup Ratna lebih berwarna. Pertemuan di isi dengan mengkaji Al qur’an, diskusi, dan bakti sosial. Memang ada apa yah, tumben-tumbenan ayah bertanya hal ini pada Ratna?”
“Ratna, mulai saat ini kamu ayah minta untuk tidak mengikuti kegiatan mentoring lagi!” Lugas ayah
Mendengar itu, tentulah Ratna terkejut.”Kenapa yah? Apa yang salah dari kegiatan itu?”
“Banyak alasannya. Pertama, semenjak kamu ikut kegiatan itu kamu jarang di rumah, sering pulang sore, dan hari minggu saja kamu tak ada di rumah. Kedua, Ayah takut kamu ikut aliran sesat. Ibumu bilang kamu sering mengurung diri di kamar, komat-kamit sendiri, dan ketika di tanya, jawabannya selalu bilang sedang dzikir. Ketiga, kamu itukan di sekolahkan untuk belajar. Bukan untuk ikut kegiatan seperti itu.” Jelas ayah
Ratna tahu, orang tuanya pasti belum terbiasa dengan sikap barunya. Dengan hati-hati ia mencoba membela diri. “Ayah, Ratna tahu yang terbaik buat Ratna. Ayah harus percaya sama Ratna. Kegiatan itu positif, bukan aliran sesat, dan juga tidak mengganggu belajar Ratna di sekolah. Malah itu membuat Ratna semakin semangat menuntut ilmu.”
Tak dinyana, ayah menggebrak meja. “Ratna, teriak ayah. “Kamu sudah berani melawan ayah yah. Ayah tidak mau tahu apapun alasannya, kamu tidak boleh ikut mentoring lagi, paham!” Bentak ayah
“Tapi, yah” bela Ratna
“Sudah. ayah lelah. Awas kalau kamu ketahuan masih mengikuti mentoring itu lagi. Jangan sesali kalau ayah memindahkanmu ke SMA lain, atau memberhentikanmu sekolah!” bentak ayah kedua kalinya sambil pergi meninggalkan Ratna yang tak mampu menahan kesedihan, melelehkan air mata, terisak, dan lari ke kamarnya.
***
Tumpahan tangis itu kini membuncah lagi. Namun Ratna menangis di pelukan orang yang mengerti keadaannya. Mbak Nabila, salah satu mentor yang dekat dengannya.
“Lantas, karena semua halangan ini, membuat kamu jadi lemah dan putus asa?” Tanya mbak Nabila
Ratna melepaskan diri pelukan mentornya, dan mengusap air matanya.
“Ratna tidak tahu lagi mbak harus bagaimana. Ratna pikir ini adalah jalan terbaik dan semua orang terdekat akan mendukung. Nyatanya, tidak. Mereka malah memojokkan.” Jelas Ratna kembali sesegukan
Mbak Nabila terseyum, mendekat pada Ratna, dan membisikkan sesuatu ke telinganya. “Minta pertolongan Allah dengan sabar dan shalat. Jalan dakwah yang menghantarkan kita pada syurga tidak landai dan berbunga. Tapi menanjak, berkerikil, panas, dan penuh rintangan. Ratna, Sesuatu yang benar harus di iringi pula cara yang baik. Saran Mbak, kamu harus banyak intropeksi diri. Mungkin cara kamu, atau sikap kamu yang membuat mereka seperti itu. La tahzan, innallaha ma’ana”
Pelukan mereka semakin erat. Ratna semakin kuat menangis. Tangisan bahagia, kata-kata itu mengalir seperti mata air yang menentramkan. “Aku harus samangat. Kebahagian abadi itu tidak mudah di dapatkan. Tawa itu bukan nilai pasti dari kebahagian, ketika kita dapat menjalankan syariat Allah, meski penuh cacian, deraan, tangis juga dapat berarti bahagia.” Ucap hati Ratna.

SELESAI
Pontianak,mei 09.

No comments:

Post a Comment