Java Script

Wednesday, June 8, 2011

DALAM PELARIAN SANG PEMBUNUH

(Mahadaya Senja)



"Ia mencoba memelukku, aku terus menghindar. Aku berlari ke setiap ruangan. Namun ia tak berhenti mengejar. Kini, aku tak dapat berlari lagi, ketika kudapati diri ini tersudut di antara lemari peralatan makan.
Gelak tawa kemenangan menggelegar. Ia semakin garang untuk menikmatiku, sedangkan aku semakin pilu dan putus asa. Tubuhnya semakin merapat, kuku-kuku tajamnya mencengkram tubuhku, desah-desah nafasnya membuatku hilang akal."





Tuhan, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menjadi seorang pembunuh. Ini semua tidak sengaja terjadi. Malam itu gelap, aku tidak dapat melihat apa-apa. Tiba-tiba saja gadis itu melintas. Aku terkejut, dan terjadilah peristiwa tragis yang tak kusangka-sangka. Sungguh, hidup tidak adil, aku harus bertanggung jawab atas kejahatan yang tidak pernah aku lakukan. Aku di kejar perasaan bersalah. Harus melarikan diri, tersesat di tempat yang tak di kenal. Dimana ini? Tempat yang tak pernah kujumpai sebelumnya. Pohon-pohon besar berumur puluhan tahun kulihat di sepanjang batas mata menangkap terang. Daunnya rimbun dan di tumbuhi akar gantung mirip tali yang menjuntai ke tanah, seperti di film tarzan saja, ucap benakku. Lolongan anjing yang melengking, membuat bulu tengkukku berdiri. Aku berjalan perlahan, mengurangi bunyi suara dedaunan kering yang berbunyi ketika aku melangkah.
“Tep…”. Ada yang menepuk pundakku dari belakang. Aku terkejut. Astaga. Aku melihat malaikat pencabut nyawa telah siap balas dendam, dia di hadapanku.
“Kenapa cantik? Wajahmu yang elok itu berubah pasi melihatku di sini. Terkejut ya? Jelas saja. Aku tak dapat menuntut balas atas kematian kekasihku di dunia kita, makanya aku mencari jejakmu di sini, akhirnya kutemukan juga.” Ucap sosok mengerikan itu.
“Tidak, kau salah. aku tidak bermaksud membunuh kekasihmu. Aku tidak sengaja. Sungguh, aku tidak bohong.” Ucapku membela
“Heh” lelaki itu mengulum senyum, lalu melanjutkan bicaranya, “Aku tidak perduli apapun alasanmu. Nyawa harus di bayar dengan nyawa. Tapi sebelum itu, aku ingin menikmati tubuh manismu terlebih dahulu, sayang jika di sia-siakan.” ucap laki-laki bertubuh gelap dan berekor itu sambil mengarah padaku dengan mata beloknya yang penuh hasrat.
Aku meneruskan pelarian. Lebih kencang, karena kematian telah siap dengan pedangnya. Aku menyusup di antara pepohonan dan menembus gelap malam. Berlari entah kemana, asal nyawa selamat. Sesekali melihat kebelakang, sosoknya tak kelihatan lagi. Syukurlah, aku dapat mengatur nafas. Tubuhku terasa setengah mati, dengan nafas yang terengah-engah dan rasa sakit kepala yang hebat. Aku menoleh kebelakang, terlihat mata merahnya membara sedang mencari keberadaanku. Pelarian di mulai lagi. Tak berapa lama langkahku terhenti, aku terjerembab. Ekor panjangnya mengikat kakiku. Setelah beberapa lama mencium tanah, aku terangkat ke udara. Jungkir balik, sakit kepalaku, karena semua aliran darah menuju otak. Tuhan, tak dapatkah kau tolong aku yang terdzalimi ini. Kumohon, aku belum mau mati, apalagi di tangannya.
Lama aku menunggu tangan Tuhan menolong hambanya yang tak bersalah. Ketika harapanku mulai pupus dan pintu kematian terlihat tanpa hijab, aku menemukan sebuah kapak yang tertancap di sebuah pohon, tak jauh dariku. Aku mengambilnya, dan kuayunkan kearah laki-laki itu. “Brug…”. Seketika aku terjatuh, mencium tanah kedua kalinya. Namun sakitnya tak begitu terasa, karena aku telah merasakan sebagian dari rasa kematian sebelumnya. Aku bangkit, dan melihat sosoknya tak bergerak. Kapakku memutuskan bagian tubuh laki-laki berbintik hitam itu, antara badan dan ekor. Dia sudah mati. Aku mendekat, memastikan kematiannya dengan menendang perlahan tubuhnya dengan kakiku. Dia benar-benar telah mati, menyusul kekasihnya. Bersenang-bersenanglah kalian berdua di alam baqa sana. Kali ini aku memang pembunuh. Benar-benar membunuh dengan tanganku sendiri.
Ups... meleset. Matanya mencelang, lalu lidah panjangnya sigap menangkap leherku. Mencekikku hingga terasa sulit bernafas. Huh, kematian lagi-lagi datang. Tapi kali ini pasti akan lebih mengerikan.
“Bodoh, kau pikir aku akan mati. Tidak, sayang. Aku harus mencicipi tubuhmu dulu. Bila ada yang mati, seharusnya bukan aku, tapi kau.” Ucapnya dengan sunggingan senyum yang dingin.
Cekikan luar biasa. Lebih membuatku tak berdaya. Lebih ganas. Ia tak hanya akan membunuhku, tapi juga memperkosaku. Oh tidak. Tidak mungkin. Aku tidak mau. Aku jijik membayangkan jika mulutnya yang moncong akan menggilas bibirku ini. Tapi matanya yang belok dan besar memberi syarat bahwa nafsunya tak mampu lagi tertahan.
Nafasnya menderu. Gigi tajam akan menggilas kehormatanku. Tubuhku serasa lumpuh tak mampu membuka mata. Semakin aku mencoba membukanya, semakin aku tak mampu bergerak. Sedangkan nafasnya semakin terasa di depan wajahku. Aku mencoba teriak meski dengan sisa kekuatan yang aku miliki. Hawa panas dari mulutnya telah mendekat. Bibirnya hampir sampai di bibirku, dan “to….”.
*******

“Tolong…” suaraku memenuhi kamar. Mataku kembali terbuka, dan mendapati tubuhku telah basah oleh keringat. Mengucur deras. Aku menebar pandangan ke segala penjuru kamar, tak ada siapa-siapa. Aku mulai menormalkan nafasku yang terengah-engah. Syukurlah cuma mimpi. Mimpi buruk.
“Krek” gagang pintu bergerak. Oh Tuhan, kumohon jangan mulai lagi. Kasihanilah diri ini. Aku menghela nafas ketika daun pintu itu terbuka. Huft, ternyata ayah. “Kamu kenapa teriak,sayang? Mimpi buruk?” ayah mendekat dan memelukku. “Iya ayah, aku mimpi di kejar oleh seekor cicak laki-laki yang ingin balas dendam kepadaku, karena aku tidak sengaja menginjak kekasihnya dan kemudian mati.” Jelasku pada ayah. Aneh, anaknya hampir saja mati, tapi ayah malah menertawaiku. “Kamu ini, terlalu banyak nonton film horor sih, mimpinya saja aneh begitu. Sudah. Sekarang cuci muka! Setelah itu tidur lagi.” Tukas ayah. “Oya satu lagi, jangan lupa baca doa ya. Met tidur, sayang”. Ayah mengecup keningku, lalu kembali ke kamarnya.
Aku tak mendengarkan perintah ayah, aku takut. Kesendirian membuat pikiran paranoidku muncul. Mimpi buruk itu membuat aku takut untuk memejamkan mata. Lelaki bejat itu pasti akan mengejarku lagi. Kulihat jam dinding, ternyata masih jam 12 malam. Aku bertahan dalam keadaan mata terbuka, menatapi jarum jam agar ia dapat berputar lebih cepat dan menghantarkan pada hari yang terang benderang. Terasa lama sekali, padahal jika aku tertidur mungkin ini terasa seperti baru memejamkan mata. Jam setengah lima mataku terasa berat, sudah tak mampu menahan kantuk. Sebagian kesadaranku dalam keadaan Alpha, setengah tertidur tapi belum sepenuhnya tidur. Tiba-tiba senyum menakutkan itu berkelabat. Sontak, aku kembali terbangun. Sang pembunuh dingin seperti telah menguasai alam mimpi sehingga aku tidak akan bisa kemana-kemana jika aku berada di sana.
Semenjak aksi balas dendam gagal,hidupku menjadi korban. Aku tidak dapat konsen di kelas. Mataku sungguh mengantuk tapi aku tak boleh tidur. Jika saja aku tidak bermimpi ketika tidur, pasti indah. Namun aku menemukan kenyataan yang di penuhi kecemasan. Hari ini hari ketiga, aku membuat sebuah prestasi yang memalukan bagi orang tuaku. Ketika aku tengah duduk di kelas sambil memandang lalu lintas di depan sekolah yang tengah ramai, tiba- tiba seekor cicak menempel di tanganku. Aku menjerit keras sekali. Sejurus kemudian, gelak tawa meledak dari seorang siswa, dia yang melempar cicak mainan itu kepadaku. Niatnya memang untuk bergurau, tapi sungguh tidak lucu. Aku bangkit dari bangku, lalu menuju ke meja guru. Aku gengam sebuah vas kaca yang ada di atasnya, mengarahkan badan pada anak jahil itu dan melemparkan barang yang ada di tanganku. Apa yang terjadi setelah itu? Semua terperangah atas lemparan jitu. Anak gendut itu roboh di lantai bersama serakan kaca dan darah segar yang mengalir dari kepalanya yang bocor.
OMG, aku di tarik paksa oleh guru BK ke ruangannya. Di dudukkan di sebuah kursi putar, di introgasi seperti seorang tersangka tindak krimial. Yah, bukankah perbuatanku barusan adalah tindak kriminal, yang sebelumnya belum pernah terjadi di keluarga, dan sekolah ini. Anak perempuan yang lemah, yang sedang mengantuk berat, menjadi beringas dan membabi buta.
“Nama kamu siapa?” tanya laki-laki berkumis tebal itu. Kumisnya mebuat aku geli, sama seperti geli pada kejadian tempo hari. Aku menunduk takut.
“Mita, pak” jawabku
“Kelas berapa?” lanjutnya
“XII IA 1, pak” jawabku lagi
“Kenapa kamu berbuat seperti itu? Kamu itu perempuan, siswi dari kelas dan sekolah unggulan.” bentaknya lagi
“ Siapa suruh mengganggu saya. Saya tidak suka. Saya benci cicak! ” jawabku lugas.
Pak kumis tidak terima dengan jawabanku. Mengada-ada, katanya. Dia ceramah panjang lebar atas kesalahanku. Keadaan tambah kisruh, ketika orang tua si gendut datang ke sekolah untuk meminta pertanggung jawab atas kejadian yang menimpa putra mereka. Keributan terjadi di ruang guru. Bapak si gendut teriak-teriak, “Mana kepala sekolah, mana bajingan yang berani-beraninya melukai anakku.” Teriakannya terdengar sampai keruangan aku berada. Aku melihat bapak si gendut mengenakan seragam polisinya, api kemarahan berkobar-kobar. Giginya gemerutuk, tangannya yang kekar mengepal keras,seperti hendak menghajar kepala sekolahku.

Aku tak perduli sama sekali dengan apa yang terjadi. Kenyataan yang akan aku hadapi karena ulahku. Aku tak gentar menghadapi ayah si gendut yang petantang- petenteng menyombongkan pangkat sosialnya itu.
“Kau lihat ulahmu, Mita?” ucap pak kumis menatapku dingin. Lalu keluar untuk ikut berpartisipasi dalam keributan di ruang guru itu.
Aku sendiri di ruangan. Ruangan yang di penuhi papan-papan informasi tentang konseling. Aku menilik satu-satu isinya, membesarkan kedua bola mata yang sudah tiga hari dua malam tidak tidur. “Hahahaha…..” sebuah suara asing menggema. Aku menghentikan kegiatanku. Melempar pandangan ke semua penjuru. Tak ada siapa-siapa, hanya aku. “Kau terlalu paranoid sayang. Kau merindukan aku ya? Hahaha…” suara itu kembali terdengar, dan aku kenal suara menyeramkan itu. “Diam kau, keparat. Aku tidak takut padamu. Sini keluar, hadapi aku. Jangan hanya berani di dalam mimpi saja. Keluar!” teriakku. “Hahaha…., benarkah kau berani , sayang? Kita lihat saja seberapa kuat dirimu. Aku tidak akan membuatmu tenang. Dendam kesumat atas kematian kekasihku belum terbalaskan. Kau harus dapatkan penderitaan. Aku akan terus mengintaimu, sayang.”
Suara itu hilang. Meninggalkan aku dengan ketakutan. Lalu aku terkejut lagi, ketika pak kumis datang. Ia menyuruhku duduk. Kemudian berbicara ngalur - ngidul, mulai dari masalah kelakuan burukku, sampai ke permasalahan dengan istrinya.
“Pak, intinya apa? Saya di keluarkan dari sekolah ini,kan?” potongku.
Aku tahu pak kumis tak tega padaku. Wajahnya berubah sangat berat untuk mengeluarkan kata-kata. Ia menyodorkan sebuah amplop kepadaku. “Kamu di skorsing. Berikan ini kepada orang tuamu.”Ucap pak kumis singkat.

*******
Hari ke lima dari peristiwa menyeramkan itu.
Sudah lebih dari enam cangkir kopi dan 2 bungkus coklat batang aku lahap malam ini. Tak lain agar mataku dapat terus terjaga. Sampai kapan aku menjadi Oneirophobia seperti ini? Menjadi orang yang terus terjaga ketika orang lain mendengkur adalah hal yang tidak adil. Lihatlah kerjaku; mondar - mandir, atau duduk –duduk saja di pojok kamar. “Auw.sakit” Tak sengaja pipiku yang bengkak terpegang. Ini juga hadiah menyebalkan yang di berikan si cicak gila. Tadi siang, ayah begitu marah dan menamparku semau hatinya. Ia begitu marah ketika pulang dari panggilan Kepala Sekolah. Bagaimana tidak, anak semata wayang yang ia kenal ayu dan lemah lembut, di keluarkan secara tidak hormat dari sekolah. Ayah sangat marah karena sebentar lagi aku akan Ujian Nasional. Eh, si anak manisnya malah nyeleneh. Maafkan aku ayah, ini bukan mutlak salahku.
Keesokan harinya, ayah membawaku ke Rumah Sakit Jiwa. Tentu saja aku berontak. Tega-teganya ayah menganggap anaknya sendiri gila. Aku berontak, ingin pulang. Tapi ayah mendekap tubuhku dan memaksa aku untuk bertemu Psikolog. Aku kalah, tubuh ayahkan lebih besar daripadaku. Sang Psikolog cuap-cuap. Apa yang dia tanya aku jawab seperti biasa. Aku tidak gila.
Psikolog itu menatapku, dan tersenyum pada ayah. “Anak bapak sepertinya mengalami gejala Skizofernia, pak?”
“Penyakit apa itu dok, anak saya gila?”
“Tidak, anak bapak tidak gila. Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidak seimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antar pribadi normal. Skizofernia juga sering kali diikuti dengan delusi dan halusinasi, pak” Jelas Psikolog itu.
Ayah mengangguk-angguk. Aku mengumpat dalam hati. Aku di anggap gila. Kalian yang gila. Orang sehat begini di bilang gila.
“Tapi, kenapa bisa,dok? Padahal di keluarga kami tidak ada yang menderita penyakit seperti itu?”. tanya ayah penasaran.
“Skizofernia bisa menyerang siapa saja ,pak. Malah presentase penderita terbesar adalah mereka yang usianya seperti anak bapak, 16 sampai 25 tahun. Wajar saja pak, usia remaja dan dewasa-muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupannya penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri. Syukurlah, bapak segera membawa anak bapak kemari.” Jelas sang psikolog panjang lebar. Sudahlah dok, aku sudah gusar lama-lama di luar. Aku ingin segera ke kamarku. Sebelum laki-laki pembunuh itu menemukanku disini.
“Lalu apa yang harus saya lakukan. Tolong dok, tolong sembuhkan anak saya ini. Dia anak saya satu-satunya,dok” rengek ayah. Ah…ayah lebay. Anakmu ini tidak gila ayah. Sayang, aku tidak mau banyak omong. Nanti, aku benar-benar di anggap gila.
Psikolog memberikanku obat . Tapi, Aku menolak untuk meminumnya. Sampai di siksapun aku tak mau. Aku tahu, obat itu obat penenang. Obat yang akan membuat aku tertidur. Obat yang akan membuatku lumpuh di alam mimpi, dan laki-laki pembunuh semakin bernafsu pada tubuhku. ih….jijik.
“Mita, liat matamu itu. sudah berkantung-kantung, hitam pula di sekelilingnya. Apa kamu mau terus-terusan tersiksa, sudah berapa lama kamu tidak tidur? Itu akan mengganggu fisik dan mentalmu. Kamu akan jadi pemarah, bicaramu ngelantur, kamu akan selalu berhalusinasi.” Mengehela nafas. “ Dan lebih yang parah lagi, kamu bisa menderita penyakit berat; jantung, tekanan darah tinggi, dan banyak lagi. Kamu mau? Tidakkan?” Tambah psikolog itu sok lemah lembut bak malaikat penolong. Percuma dok, aku tidak mau. Titik.


*******
Hari ketujuh.
Sudah satu pekan aku tidak tidur, tidak makan, tidak keluar rumah, tidak bicara pada orang, tidak semuanya. Hanya menatap kosong pada langit-langit kamar, meminum kopi, sof t drink, dan coklat untuk membuat mataku tetap terjaga. Ibu membawa makanan ke kamarku. Tapi sang makanan kembali ke pencucian masih utuh dan basi. Aku tidak mau makan, karena akan membuatku kekenyangan dan mengantuk. Setiap hari pula ayah ke kamar untuk menyuruhku mandi. Aku juga tidak mau. Aku takut si pembunuh itu melihat aku telanjang di kamar mandi. Tidak ada yang membuatku aman selain di kamar ini dan secangkir kopi.
Entah kenapa, di hari ini badanku terasa sangat lemah. Tenagaku sudah semakin berkurang karena tidak di tunjang oleh makan-makanan yang sehat selama di persembunyian ini. Lama-lama mataku terasa berat. Lebih berat dari biasanya. Mungkin sudah tak kuat lagi. Tanpa kusadari kepalaku perlahan-lahan bersandar di dinding kamar. Mataku sedikit demi sedikit terpejam. Sekejap aku masuk ke portal mimpi. Tidak boleh! Aku memaksa mata untuk terbuka. Astaga, senyum kematian di depan wajahku. Cicak itu di sini, aku histeris, reflek menerajangnya, hingga tersungkur.
Aku ngeri. Bulu romaku berdiri. Wajahnya sangat lapar. Air liurnya meleleh, dengan lidah yang siap menjilat tubuhku yang lemah, teramat lemah.
“Sudah saatnya sayang. Aku datang untuk menikmati tubuhmu.”
Aku segera melarikan diri darinya. Berteriak, meminta pertolongan. Namun sunyi yang kudapati. Orang-orang seperti di telan bumi, hanya si jahanam dan aku yang tertinggal. Tuhan, Kenapa begini? Bagaimana bisa dia muncul dalam dunia nyataku. Terpaksa, aku keluar dari sarangku selama ini, tempat yang aman dari terkamannya. Aku terus berteriak, di antara isak dan ketakutan. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Ia mencoba memelukku, aku terus menghindar. Aku berlari ke setiap ruangan. Namun ia tak berhenti mengejar. Kini, aku tak dapat berlari lagi, ketika kudapati diri ini tersudut di antara lemari peralatan makan.
Gelak tawa kemenangan menggelegar. Ia semakin garang untuk menikmatiku, sedangkan aku semakin pilu dan putus asa. Tubuhnya semakin merapat, kuku-kuku tajamnya mencengkram tubuhku, desah-desah nafasnya membuatku hilang akal. Aku menarik pisau yang tak jauh dari jangkauanku. Lalu menusukkannya tepat di dada,bertubi-tubi. Tak lama kemudian, darah segar membuncah, membanjiri tubuhku yang tergeletak.
“Kenapa kau lakukan ini, sayang?”
Aku tersenyum mendengarnya. Senyum penghinaan terakhir. Lebih baik aku membunuh diriku sendiri, daripada kehormatanku kau yang mengobok-oboknya.
“Sampai jumpa lagi, laki-laki busuk. Kau tidak akan mengusik malamku lagi. Aku dapat menikmati tidur panjang ini tanpamu.“Ucapku menghardik di antara nafas yang tersisa di kerongkongan.

Selesai

Dalam persembunyian
Mei 2011

Istilah
Hijab (islam) : Batas
delusi (psikologi) : keyakinan yang salah)
halusinasi (psi) : persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).
Oneirophobia (psi) : takut mimpi
Hiprokrit : Munafik